Jakarta – Kendati pada tahun 2015 ini, bank umum mulai diwajibkan untuk menyalurkan 5 persen dari total kreditnya untuk segmen mikro, namun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tetap optimistis bisa bersaing. Pasalnya, BPR lebih memahami dan mengenal pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Adanya bank umum justru membuat kami lebih bersemangat,” jelas Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Milik Daerah (Perbamida) Muhammad Sigit di Jakarta, Jumat (16/1).
Peraturan mengenai pemberian kredit perbankan ke sektor UMKM disebutkan dalam PBI No 14/22/PBI/2012. Pemberian kredit ke sektor UMKM diberikan secara bertahap sampai 20 persen.
Sigit mengungkapkan, BPR memiliki sejarah panjang dengan pelaku UMKM. Kekerabatan dan kedekatan ini membuat BPR lebih memahami yang dibutuhkan pelaku UMKM. Beda halnya dengan bank umum yang merupakan pemain baru pada sektor UMKM.
“Bank umum termasuk pemain baru, ada yang baru membuka unit simpan pinjam, namun rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) nya tinggi,” tegasnya.
Tidak hanya dari segi pemahaman yang lebih baik, Sigit juga optimistis bisa menumbuhkan kredit di segmen mikro karena potensinya yang cukup besar. Sigit yang juga berprofesi sebagai Direktur Utama Bank Sleman menjelaskan, di Indonesia terdapat 56 juta UMKM. Sementara di Yogyakarta jumlahnya mencapai 100 ribu dan khusus di Sleman jumlahnya 26 ribu UMKM. Dari jumlah 26 ribu tersebut menurutnya tidak semua bisa digarap Bank Sleman.
“Setengah saja belum bisa kami garap,” tandasnya.
Melihat potensi ini, menurut Sigit, BPR tidak bisa sekedar mengandalkan pengalaman saja. Peningkatan kapasitas menjadi salah satu hal utama yang harus dilakukan pelaku industri. Apalagi pada tahun 2015 ini, sudah mulai diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan pada 2020 nanti khusus untuk sektor keuangan.
“Saat ini investor asing juga mulai tertarik untuk membangun BPR sehingga persaingan akan menjadi lebih ketat,”terangnya.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menjelaskan, untuk bisa bersaing dengan bank umum, BPR harus bisa meningkatkan kualitas. Dari sisi permodalan misalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah membuat aturan berdasarkan zona yaitu 1 sampai 4. Namun peraturan ini hanya berlaku untuk BPR yang baru terbentuk.
“Hal lainnya adalah dari sisi pemenuhan GCG dan manajemen risiko,” terangnya.
Sampai November 2014, Joko menyatakan, aset BPR mencapai Rp 90 triliun. Memang porsinya masih kecil jika dibandingkan dengan perbankan nasional. Namun dari sisi pertumbuhan kredit, BPR bisa bertumbuh di atas 15 persen, yaitu sejajar dengan perbankan nasional.
“Dengan pertumbuhan yang ada, BPR tetap sustainable dan bisa mengeloa produktif,”ujarnya.
Penulis: GTR/FMB
Sumber:Investor Daily